Ada sebuah berita dari ritel-ritel besar luar negeri
yang cukup mengagetkan. Brand-brand fashion
ternama seperti Gap, Oscar de la Renta, dan Tory Burch, serta retailer fashion
seperti Nordstrom, mulai menutup toko-tokonya di jejaring sosial dikarenakan media
tersebut terbukti tidak meningkatkan penjualan mereka.
Lebih lanjut, sebuah studi yang melibatkan 250 brand fashion tersohor menemukan bahwa
dalam empat tahun terakhir penjualan melalui Facebook hanya meningkat 0,25%. Sementara
lewat Twitter, lebih rendah lagi, cuma meningkatkan penjualan sebesar 0,01%. Angka
ini tidak setimpal dengan investasi yang mereka keluarkan untuk membuka toko di
jejaring sosial tersebut, yang kemudian membuat banyak brand harus menghentikan
operasinya di sana.
Sebelum memperoleh berita ini, memang, saya pribadi
pernah mendengar keluhan dari kawan yang berjualan barang lewat social media. Saya memang sering
mendorong orang-orang untuk berjualan secara online karena keuntungan yang bisa diperoleh darinya, ia langsung
menyampaikan uneg-unegnya.
“Tapi kok saya merasa seperti ngomong sendiri saja ya,
Mas? Berceloteh sendiri di Twitter tanpa ada yang menanggapi. Rasanya seperti
menghabis-habiskan waktu,” ujarnya.
Namun ada kawan lain yang bernasib berbeda. Kawan saya
ini, pemilik penerbitan kecil, malah berhasil menggelembungkan penjualan
langsung secara luar biasa melalui media Facebook. Ia menge-tag ribuan kawannya di Facebook, dan
terbukti ia bisa menerima puluhan order
setiap harinya bahkan lebih-lebih biaya produksi dapat tertutupi dari penjualan
online sendiri.
Kendati demikian, kawan saya yang satu ini mungkin
harus menjadi pengecualian tersendiri. Ia telah membangun jaringan pelanggannya
dalam waktu yang tak sebentar sehingga orang-orang mudah percaya padanya dan
begitu antusias tatkala ia mempromosikan barang baru lewat album foto di Facebook.
Untuk mereka yang baru merintis usaha dan belum
memiliki jaringan, membuka usaha online
melalui jalur socmed tampaknya justru akan memiliki banyak tantangan. Orang
lebih banyak membukanya untuk bertanggap-tanggapan dengan kawan-kawannya atau memperoleh
informasi dari akun-akun yang membagikan pengetahuan, tips, atau info menyenangkan.
Belum lagi algoritma yang dipasang oleh Facebook
mendikte hanya posting yang paling
banyak ditanggapilah yang akan
terpajang di linimasa pengguna, sehingga posting
dari Anda yang memang tidak bertujuan untuk mencari tanggapan atau like akan sulit terlihat oleh kawan
Anda.
Tetapi apakah ini berarti Anda harus menyerah
berbisnis online? Sama sekali tidak. Penjualan bisnis online dari tahun ke tahun terus meningkat, hanya saja,
pertanyaannya, jalurnya lewat mana? Masih dari studi yang sama dengan yang kita
singgung di atas, 9,82% pelanggan baru diperoleh melalui hasil dari mesin
pencarian (Google dan Yahoo!) dan 6,84% melalui email. Artinya, berjualan
barang di situs-situs e-commerce,
yang memang menempati halaman terdepan mesin pencari akan jauh lebih efektif.
Pengunjung, toh, memang mengunjungi situs e-commerce
dengan pikiran ingin berbelanja bukannya bersosialisasi.
E-commerce diprediksi akan lebih efektif melonjakkan penjualan (Sumber: http://www.tokoon.com/Home/Beranda) |
Meski begitu, sebaiknya Anda tidak meninggalkan akun jejaring
sosial toko Anda. Bukan tidak mungkin Anda dapat membangun sebuah network yang amat membantu penjualan
Anda, seperti kawan saya itu. Karena pada dasarnya jejaring sosial adalah media
untuk bersosialisasi, bukan untuk berjualan. Ada baiknya Anda menghindari hard sell di social media dan kemudian menggunakannya untuk membangun brand image serta berinteraksi dengan
komunitas yang relevan dengan produk Anda.
Cobalah. Semoga membantu!
No comments:
Post a Comment