Pernah suatu waktu saat bersiap-siap memberi materi untuk sebuah seminar, istri saya menegur saya karena hendak berangkat mengenakan jaket kulit. Tidak sopan, ujarnya ngedumel sambil mencarikan saya jas untuk menggantikannya. “Emangnya mau ngojek kamu?” tegur istri saya.
Tak mau direpotkan mengenakan jas untuk seminar yang ternyata pembawa acaranya bahkan hanya mengenakan sweater, langsung saya balas dong. Jaket kulit, saya bilang, sudah diterima sebagai pakaian formal, bahkan di kantor-kantor. Lagi pula saya tak mau tampil dengan citra yang kelewat kaku dan malah akan membangun suasana yang tidak rileks. Saya pun tunjukkan beberapa foto di internet untuk membuktikannya.
Tak mau direpotkan mengenakan jas untuk seminar yang ternyata pembawa acaranya bahkan hanya mengenakan sweater, langsung saya balas dong. Jaket kulit, saya bilang, sudah diterima sebagai pakaian formal, bahkan di kantor-kantor. Lagi pula saya tak mau tampil dengan citra yang kelewat kaku dan malah akan membangun suasana yang tidak rileks. Saya pun tunjukkan beberapa foto di internet untuk membuktikannya.
![]() |
Tidak kelihatan seperti ojek kan? |
“Jadi aku ketinggalan zaman ya?” ujarnya tidak terima.
“Kurang-lebih,” jawab saya.
Setelah itu istri saya ngambek. Tapi, sudahlah, inti ceritanya saat ini dunia kerja sudah tidak sekaku sebelumnya. Jaket kulit bebas dikenakan dengan padanan sepantasnya, kecuali Anda bekerja di bank dan harus bertatap muka langsung dengan nasabah, atau meeting dalam suasana formal dengan klien. Buat orang-orang seperti saya yang butuh membangun komunikasi yang mengalir dan cair, jaket kulit bahkan lebih bermanfaat lagi karena dapat memberikan kesan dinamis dan belia (meski belianya sebenarnya sudah lewat).
Memakai jaket favorit saya ini dari waktu ke waktu, saya pribadi merasa memang interaksi dengan audiens diskusi menjadi lebih lancar ketimbang dulu-dulu saat saya masih mengenakan jas. Saya membayangkan, berhadapan dengan saya di depan panggung yang mengenakan jas dulu mungkin para audiens merasa berhadapan dengan pejabat atau pengusaha. Orang-orang sering memanggil saya “Bapak” dengan nada bertanya segan, seakan meminta petuah dari seorang tetua silat.
Sementara sekarang-sekarang ini, meski tetap saja ada yang memanggil “Bapak,” mulai banyak juga yang memanggil saya dengan “Anda.” Diskusi-diskusi yang saya ikut pun terasa lebih interaktif. Para peserta tampak lebih antusias membagikan pengalamannya masing-masing yang bermanfaat bagi peserta-peserta lainnya. Saya kerap tak lagi hanya mendiktekan para peserta, melainkan berlaku sebagai fasilitator diskusi sebagaimana yang saya harapkan.
Semua karena jaket kulit? Mungkin tidak semuanya karena busana ini sih... Mungkin juga hanya perasaan saya yang merasa badan dan perasaan saya jadi lebih lincah dan ringan setelah mulai mengenakan jaket kulit ke mana-mana. Tapi saya kira, tetap benar untuk dikatakan bahwa jaket kulit mengikis formalitas dan juga memudakan usia pemakainya. Kalau tidak, tentu sedari awal saya tidak akan diomel-omeli oleh istri.
Bagaimana? Mau mencoba mengenakannya di tempat kerja Anda?
“Kurang-lebih,” jawab saya.
Setelah itu istri saya ngambek. Tapi, sudahlah, inti ceritanya saat ini dunia kerja sudah tidak sekaku sebelumnya. Jaket kulit bebas dikenakan dengan padanan sepantasnya, kecuali Anda bekerja di bank dan harus bertatap muka langsung dengan nasabah, atau meeting dalam suasana formal dengan klien. Buat orang-orang seperti saya yang butuh membangun komunikasi yang mengalir dan cair, jaket kulit bahkan lebih bermanfaat lagi karena dapat memberikan kesan dinamis dan belia (meski belianya sebenarnya sudah lewat).
Memakai jaket favorit saya ini dari waktu ke waktu, saya pribadi merasa memang interaksi dengan audiens diskusi menjadi lebih lancar ketimbang dulu-dulu saat saya masih mengenakan jas. Saya membayangkan, berhadapan dengan saya di depan panggung yang mengenakan jas dulu mungkin para audiens merasa berhadapan dengan pejabat atau pengusaha. Orang-orang sering memanggil saya “Bapak” dengan nada bertanya segan, seakan meminta petuah dari seorang tetua silat.
Sementara sekarang-sekarang ini, meski tetap saja ada yang memanggil “Bapak,” mulai banyak juga yang memanggil saya dengan “Anda.” Diskusi-diskusi yang saya ikut pun terasa lebih interaktif. Para peserta tampak lebih antusias membagikan pengalamannya masing-masing yang bermanfaat bagi peserta-peserta lainnya. Saya kerap tak lagi hanya mendiktekan para peserta, melainkan berlaku sebagai fasilitator diskusi sebagaimana yang saya harapkan.
Semua karena jaket kulit? Mungkin tidak semuanya karena busana ini sih... Mungkin juga hanya perasaan saya yang merasa badan dan perasaan saya jadi lebih lincah dan ringan setelah mulai mengenakan jaket kulit ke mana-mana. Tapi saya kira, tetap benar untuk dikatakan bahwa jaket kulit mengikis formalitas dan juga memudakan usia pemakainya. Kalau tidak, tentu sedari awal saya tidak akan diomel-omeli oleh istri.
Bagaimana? Mau mencoba mengenakannya di tempat kerja Anda?
No comments:
Post a Comment